Semua orang yang pernah SD atau SMP pasti tahu artinya kerja rodi. Saya rasa tidak perlu dijelaskan lagi definisinya. Kerja rodi yang kita kenal dulu memang terjadi dalam masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda. Korbannya adalah orang-orang pribumi yang hidup pada masa itu. Cerita kelam itu rupanya tidak berakhir, karena saat ini pun, "kerja rodi" ada dan terjadi disini, di Indonesia, disaat bangsa kita sudah merasakan 64 th kemerdekaannya. Tentu tidak seheboh seperti waktu itu, tidak juga memakan korban jiwa. Hanya saja, saya merasa kerjaan saya saat ini di Puskesmas, sudah seperti kerja rodi. Saking mangkelnya, saya namakan saja Neo Kerja Rodi. Bedanya, pelakunya dan korbannya adalah orang kita sendiri.
Separah itukah??
Tentu tidak. Kata-kata hiperbola yang saya gunakan untuk menggambarkan pekerjaan saya di Puskesmas, bagi saya dapat melepaskan "uneg-uneg" yang mengendap dalam relung hati paling dalam. Ceileeh....
Seperti yang anda tahu, saya bekerja sebagai seorang PNS dilingkungan Dinas Kesehatan Kota Metro, pada sebuah Puskesmas Rawat Inap. Proses saya bisa sampai di Puskesmas Rawat Inap ini juga bukan karena kebetulan. Melalui proses yang rumit dan penuh dengan argumentasi, saya terdampar di Puskesmas ini. DENGAN TERPAKSA. Catet...!
Dan hampir selama 3 tahun lebih saya sudah berusaha mengemban tanggung jawab ini. Pelan-pelan saya berusaha beradaptasi dengan pola kerja yang berbeda dari puskesmas-puskesmas lain di Kota Metro. Saya harus terbiasa di gedor pintu rumahnya pada jam 1, jam 2 atau jam 3 pagi untuk melayani masyarakat yang datang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sementara paginya, saya harus tetap masuk kantor seperti biasa dengan segala aktifitas dan kesibukannya. Ada rapat, ada penyuluhan, ada lomba-lomba, ada P3K, BP...pokoknya semua! dan malamnya, saya harus tetep stand by, untuk kembali mengulang siklus "gedoran pintu" yang sama kembali. Ngilang sebentar berarti teguran minimal Kepala Dinas atau Walikota sudah menanti.
Saya adalah tipe orang yang selalu berusaha melihat positif terhadap segala sesuatu. Termasuk kenapa Allah memilihkan saya puskesmas rawat inap ini untuk saya. Saya tetep berusaha bersyukur, bahwasannya dengan ada di puskesmas ini, saya bisa mempraktekan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki lebih banyak dari teman-teman sejawat di puskesmas lain. Dengan ada di puskesmas ini, saya bisa me-manage pasien dengan bebas, karena saya ada pada strata paling tinggi untuk menentukan therapi pada pasien-pasien di puskesmas ini. Saya sungguh-sungguh menjadi bersemangat, dan akhirnya benar-benar bersyukur bisa ada disini. Cause I feel like a boss in my own company.
Tapi minat itu sedikit demi sedikit menjadi hilang. Kesulitan-kesulitan mulai muncul satu persatu dan serasa "mengebiri" kreatifitas dan kompetensi saya sebagai seorang dokter umum. Untuk diketahui, hampir semua orang kesehatan di Kota Metro ini akan geleng kepala kalau ditawari bekerja di puskesmas kami. Banyak alasan yang dikemukakan, dari mulai alasan keluarga, uang lembur yang tidak "manusiawi" dan masih banyak lagi. Pernah suatu saat, puskesmas kami mendapat "bantuan" tenaga dari luar, demi memenuhi jumlah tenaga agar puskesmas rawat inap kami tetap berjalan. Hasilnya: Protes dan komplain terjadi disana-sini. Jangankan saya, yang cuma koordinator puskesmas rawat inap, even kepala dinas pun kewalahan. So...simpulkan sendiri, bagaimana rumitnya menjalankan rawat inap.
Saya pikir, persoalan mendasar pada puskesmas rawat inap ini adalah bagaimana orang-orang yang bekerja disana merasa tidak dihargai oleh para petinggi-petinggi di dinas kesehatan. Ketika ada sedikit "keuntungan" dari hasil kerja keras kami, banyak pihak yang merasa iri, curiga dan berprasangka. Bayangkan kalau keuntungan itu banyak!! Mungkin beritanya masuk televisi nasional. Seolah, kita tidak boleh menikmati sedikit kerja keras yang kami lakukan. Slogan "Kerja Maksimal, Untung Minimal" seperti sudah baku bagi para petinggi di dinas kesehatan. Jujur, dan ini mungkin tidak pernah terpikir oleh para "elit-elit" diatas, puskesmas rawat inap kami bisa bertahan selama ini, adalah dengan cara mengelola dana yang kami miliki dengan prinsip perputaran modal. Kami mencoba membeli obat, memenuhi kebutuhan bahan habis pakai (BHP) secara swadaya untuk memenuhi tuntutan pengobatan yang berkualitas. Bukannya dibantu pemecahan permasalahannya, kami disibukan dengan kewajiban setor ke kas daerah. Yang sangat saya sayangkan, mereka (para elite dinkes) seolah tidak pernah mau tahu, bagaimana pasien yang kami rawat itu makan, bagaimana petugas kami mendapat insentif yang memadai, bagaimana pasien-pasien kami tetep mendapat obat-obat rawat inap yang bermutu dengan jumlah yang cukup. They don't care..!! Semua dijanjikan lewat klaim...klaim....dan klaim yang tak kunjung cair. Verifikasi yang bertingkat dan sulit, pencoretan disana-sini...sungguh membuat saya merasa menjadi single fighter untuk persoalan rawat inap ini. Bikin putus asa!!! Apakah pernah terbersit, selama klaim itu belum cair, darimana dana untuk catering makan pasien? darimana insentif untuk para tenaga yang bekerja disini? darimana kita membeli obat yang selalu kekurangan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan?
Jawab sendiri pertannyaan-nya....karena saya sudah menyerah!!
No comments:
Post a Comment